HALOOKI, OKI: Proyek “Penyusunan Database Infrastruktur” yang tengah dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Kawasan Permukiman (PU Perkim) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), menuai sorotan publik. Proyek yang bernilai miliaran rupiah ini disebut belum menjadi kebutuhan riil masyarakat dan dinilai terlalu dipaksakan.
Kepala Dinas PU Perkim OKI, Madani, membenarkan bahwa proyek tersebut memang bukan prioritas mendesak saat ini, meskipun memiliki tujuan jangka panjang dalam menunjang perencanaan pembangunan.
“Data ini penting sebagai peta jalan pembangunan. Tanpa basis data, program bisa tumpang tindih atau tidak tepat sasaran. Namun, untuk saat ini proyek ini memang belum sesuai kebutuhan riil,” ujar Madani saat dikonfirmasi, Selasa (17/6/2025).
Lebih jauh, Madani mengungkapkan bahwa proyek ini berasal dari pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD OKI. Ia menyinggung adanya nuansa politis di balik pelaksanaannya.
“Proyek ini didorong oleh pokir DPRD, dan pada saat itu Ketua Komisi III adalah Febriansyah Wardana dari Fraksi PDIP. Jadi memang seperti dipaksakan untuk dilaksanakan karena sudah diketok palu,” jelasnya.
Proyek database ini terdiri dari 13 paket kegiatan yang tersebar di kecamatan Sungai Menang, Cengal, Tulung Selapan, Jejawi, dan Kayuagung. Kegiatan yang dilakukan meliputi pendataan drainase, lampu penerangan jalan umum (LPJU), serta jalan lingkungan.
Namun, pelaksanaan proyek menuai kritik, terutama dari masyarakat setempat yang merasa belum merasakan manfaat langsung. Fauzan, tokoh masyarakat Cengal, mempertanyakan logika di balik pendataan LPJU di wilayah yang belum memiliki akses listrik.
“Beberapa dusun di Sungai Menang belum teraliri listrik. Apa gunanya mendata lampu jalan kalau listrik saja belum masuk?” sindir Fauzan.
Sementara itu, laporan dari lapangan menyebutkan bahwa empat proyek pendataan drainase menelan anggaran sebesar Rp1,97 miliar, dan empat paket pendataan LPJU menghabiskan Rp1,98 miliar. Ironisnya, hingga kini belum ada sistem informasi geografis (GIS) atau dashboard digital sebagai keluaran utama proyek.
Hasil kegiatan disebut hanya berupa dokumen cetak manual, yang dinilai tidak efisien dan minim transparansi. Bahkan, kesamaan narasi dan angka dalam laporan menimbulkan dugaan kuat adanya praktik copy-paste dalam pelaporan.
Menanggapi hal ini, Antoni, aktivis antikorupsi asal Sumatera Selatan, mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) turun tangan melakukan audit investigatif.
“Transparansi digital atas hasil pekerjaan sangat penting. Bila perlu, Pemkab OKI perlu moratorium proyek sejenis jika tidak disertai sistem digital terintegrasi,” tegas Antoni.
Ia menilai proyek ini gagal menjawab kebutuhan dasar masyarakat. “
Masyarakat OKI tak butuh daftar drainase. Mereka butuh drainase. Tak butuh database lampu, tapi butuh penerangan,” ujarnya lantang.
Menanggapi kritik tersebut, Madani mengakui bahwa hasil proyek memang belum dibuka ke publik karena masih berada dalam sistem internal pemerintah daerah. Namun ia berjanji akan membangun dashboard digital publik guna mendorong transparansi ke depan.
“Kami siap bangun dashboard digital yang bisa diakses publik, supaya semua pihak bisa melihat hasil kerja ini secara terbuka,” pungkasnya.